Komoditas

Kopi Japan

Kopi Japan, adalah seteguk rasa dalam secangkir budaya. Terbentuk sejak dari sejarah perjalanan perjuangan para wali, pergolakan wilayah hingga berganti-ganti penguasa bumi. Setiap bulir bijinya menjadi jembatan penyusun paragraf drama, romansa, hingga pencapaian religi. Aromanya membawa cerita yang tak dapat dituliskan kata-kata, yang kemudian secara turun temurun terbawa melalui epic etnik pola kehidupan masyarakatnya. Dan kemudian menjadi legenda.

Desa Japan adalah bagian tak terpisahkan dari Pegunungan Muria, bahkan menjadi keping pokok episode perkembangannya, dengan alam, dengan tanaman kopinya. Kita bahkan bisa mengenali Japan tanpa membuka mata, ketika musim semi tiba, dari wangi aroma semerbak bunga kopi yang mekar di seluruh pelosok desa.

Sejarah Kopi Japan

Menilik sejarah kopi Muria tak lepas dari penyebaran Islam, perdagangan era kerajaan dan pendudukan penjajahan Belanda. Setidaknya ada banyak catatan yang kemudian menjadi benang merah asal-usul kopi di Muria, yang kemudian turut andil dalam membentuk budaya dan kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Ada dua catatan pokok tentang posisi Jawa pada perkembangan kopi dunia, yang berpengaruh bahkan hingga geopolitik kekuatan-kekuatan penguasa wilayah dunia.
Catatan yang pertama adalah kopi pada era penguasa bangsa Arab dan perkembangan Islam terutama di jaman Ottoman Turki. Dan yang kedua adalah perkembangan kopi pada masa penguasa-penguasa Eropa, terutama VOC.

Cerita Kopi Pada Masa Lampau

Dalam banyak kisah, kopi pertama kali dikenal untuk dikonsumsi adalah oleh Suku Galla, Abbysinia, sebuah wilayah di dataran tinggi Ethiopia, Afrika Timur. Kisah yang paling terkenal adalah penemuan buah kopi oleh seorang penggembala kambing bernama Khaldi di sekitar tahun 850 M. Buah kopi kemudian mulai dikenal luas sebagai stimulan, karena mempunyai efek membuat terjaga bagi yang mengkonsumsinya. Kisah awal penemuan kopi ini tak banyak tercatat dalam literasi resmi, sehingga perkembangan awalnya semu.
Dua risalah medis yang diyakini sebagai sumber tertua yang menyinggung tentang bun, atau penyebutan untuk biji kopi. Risalah yang ditulis oleh Al-Razi (850-922) di abad ke-9, dan Ibnu Sina (980-1037 ) di abad ke-11. Dalam risalah tersebut Al-Razi memasukkan kata bun dengan bunchum sebagai zat yang diyakini menyembuhkan berbagai penyakit. Adapun Ibnu Sina, dalam Qanūn al-Tibb-nya menyebut bunchum sebagai senyawa aktif yang dapat menambah stamina, membersihkan kulit, dan menimbulkan bau enak bagi tubuh. Catatan ini juga menyebutkan, bahwa kopi yang baik dan unggul berwarna kuning dan bobotnya ringan. Adapun kopi berwarna putih dan cenderung berat adalah yang buruk.

Penyebaran Kopi

Setelah abad ke 10, kopi semakin terkenal di kalangan bangsa Arab. Kebiasaan mengkonsumsi kopi juga semakin menggeser daun Khat. Terutama di kalangan cendekiawan muslim, kopi menjadi minuman yang cukup tenar. Kebiasaan meminum kopi oleh kalangan cendekiawan muslim dengan tujuan meningkatkan stamina, terutama agar terjaga di malam hari untuk bisa lebih banyak berdzikir. Banyak kisah masyhur tentang kebiasaan mengkonsumsi kopi ini, termasuk salah satunya adalah perubahan cara mengkonsumsi biji kopi dari memakan langsung kemudian menjadi dikeringkan dan diseduh dengan air. Dalam banyak catatan Eropa, kopi sampai diidentikan dengan Muslim. Kopi secara eksklusif menjadi stimulan bawaan kemanapun Muslim bepergian.

Kopi Japan

Salah satu ulama penyebar agama dalam periode ini adalah Syekh Abu Hasan Asy Sadzali, seorang ulama asal Baghdad, Irak, yang dalam perjalanannya sampai ke Gunung Muria, tepatnya di Rejenu. Dalam angka tertulis di batu bata bangunan Rejenu tertulis 1267 Masehi. Beliau membawa serta kopi dalam perjalanannya, dan kemudian menanam untuk kebutuhan sendiri. Kopi Rejenu berciri khas seperti yang tertera dalam kriteria kopi bagus dalam catatan Ibnu Sina, kecil, dan tidak terlalu putih. Kopi jenis ini kemungkinan juga dibawa oleh ulama lain dalam periode ini di seluruh Nusantara. Jenis kopi ini kemudian banyak dikenal masyarakat sebagai Kopi Jawa. Beberapa orang menyebutnya Kopi Kawak, berasal dari bahasa aslinya, Qahwah.
Kurang lebih abad 14, kopi menyebar di Yaman. Cara mengkonsumsi juga berkembang. Abad 15 kopi mulai dikenal di Mekah dan Madinah, dan kemudian menyebar secara masif hampir di seluruh kekuasaan Ottoman, hingga Eropa dan Balkan.

Penamaan Kopi

Penamaan kopi sendiri diketahui berasal dari Bahasa Arab, Al Qahwa, yang kemudian dalam pelafalan Turki menjadi Kahve, dan diserap ke dalam Bahasa-bahasa Eropa menjadi Koffie, Coffee, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri disebut kopi, berasal dari pelafazan masa pendudukan VOC, koffie. Kata ini baru dikenal masyarakat seiring ditanamnya besar-besaran oleh Belanda, karena pada periode pertama penyebaran kopi masih inklusif di kalangan penyebar agama saja. Hingga kemudian tersebut Kopi Kawak, untuk varietas kopi awal di Jawa, berasal dari Qahwah, bahasa aslinya.

Dalam era Ustmaniyah, kopi menjadi komoditas penting yang mempengaruhi sosial budaya dan bahkan ekonomi. Kebiasaan minum kopi yang dahulu hanya digunakan oleh ulama agar tetap terjaga di malam hari, kemudian berkembang menjadi budaya. Kedai kopi sendiri kemudian dikenal dengan nama Kafe, Kafetaria, dan segala turunan bahasanya. Seiring maraknya kedai kopi, minum kopi bersama tak hanya sekedar menghilangkan haus, tetapi juga menjadi sebuah forum obrolan, pertukaran pikiran, yang bahkan tidak memandang status. Hal ini memunculkan ide-ide positif dalam perkembangan keilmuwan Ottoman.

Penyebaran Kopi Jawa

Selain kekuatan ekonomi Ottoman yang kala itu ekspansi ke Eropa dan Balkan, budaya baru ini juga mendapatkan banyak pertentangan di Eropa. Penguasa-penguasa Eropa berusaha menyaingi kekuatan ini, dengan berbagai cara mencari bibit kopi terbaik dan membudidayakannya di wilayah jajahannya. Salah satunya yang dilakukan oleh VOC, dengan mulai memasukkan kopi di Hindia Belanda. Era ini yang kemudian banyak mempengaruhi perkembangan kopi di Jawa, wilayah Hindia Belanda.
Tepatnya di Batavia pada tahun 1696, Hendrick Zwaardecroon (26 Januari 1667 – 12 Agustus 1728), bersama Joan van Hoorn dan Cornelis Chastelein pada 1696 mencoba menanam kopi di Batavia. Mereka membawa kopi jenis arabika dari Malabar, India. Budidaya kopi pertama dilakukan oleh kompeni di Kedawung, sebuah daerah agrikultur dekat Batavia. Budidaya di masa ini gagal lantaran cuaca ekstrim dan bencana alam.
Beberapa tahun setelahnya, mereka kembali membawa batang kopi hasil stek dari Malabar. Dan di tahun 1706, biji kopi hasil tanaman di pulau Jawa ini meraih sukses besar dan menjadi populer. Kesuksesan penanaman ini membawa Hendrick Zwaardecroon menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-20. Ia memerintah antara tahun 1718 – 1725.

Perkembangan Jenis Kopi

Keberhasilan penjualan juga membuat Belanda menanam biji kopi di berbagai tempat di tiap-tiap pulau di Indonesia. Dari sinilah awal kemunculan berbagai ragam jenis kopi di Indonesia. Termasuk salah satunya di Pegunungan Muria. Dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun dari tahun, ekspor kopi hasil budidaya di setiap pulau di Nusantara yang dilakukan oleh Belanda meraup keuntungan yang melimpah, memenuhi pasar Eropa.
Akan tetapi, kesuksesan itu pada akhirnya menemukan titik mati. Pada tahun 1878, Hampir 200 tahun setelah pertama kali kemunculan budidaya kopi, penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV) menyerang dan merusak seluruh perkebunan di Indonesia. Belanda mencoba mengganti jenis kopi di Indonesia menjadi liberika, namun tetap rusak oleh penyakit karat daun.
Pada tahun 1900 Belanda memperkenalkan jenis kopi robusta kepada petani di Jawa Timur. Jenis kopi ini tahan serangan penyakit karat daun, dan perkembangan budidaya mulai menjalar ke Sumatera. Ketahanan jenis kopi ini yang membuat Indonesia pernah menjadi pengekspor kopi terbesar di Dunia.

Perkebunan Kopi Japan

Setelah runtuhnya kekuasaan Belanda di Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia 1945, kemudian dilakukanlah nasionalisasi terhadap perkebunan kopi-kopi bekas penjajahan Belanda. Termasuk juga perkebunan kopi Japan, yang menjadi bagian dari perkebunan kopi di pegunungan Muria. Dari sini, budidaya dan kebangkitan perkebunan kopi melonjak. Berkat pekerjaan tanpa sistem tanam paksa, kini kita mengenal jenis kopi di Indonesia yang sangat beragam karena hasil budidaya perkebunan kopi yang baik.
Perkebunan kopi cukup mendominasi di Desa Japan. Dari 317 hektar luas wilayah, tercatat 109 hektar merupakan lahan sawah, dan 208 hektar lahan bukan sawah, meliputi huma, hunian, dan area perkebunan. Khusus luas area perkebunan kopi mencakup sekitar 75 hektar. Dari luasan perkebunan ini, Desa Japan menghasilkan lebih dari 200 ton biji kopi per tahun.

Penjualan Biji Kopi di Japan

Pemasaran terbesar kopi Japan adalah dengan menjual langsung biji kopi kering kepada tengkulak atau pabrik. Masing-masing petani biasanya menjual dengan cara mengupas dan mengeringkan terlebih dahulu. Namun juga masih banyak yang menjual basah, dikarenakan keterbatasan area penjemuran. Dalam pembinaan Desa melalui Bumdes dan Desa Wisata, saat ini tercatat lebih dari 36 industri rumah tangga yang menjual kopi olahan, meliputi roastery, pengemasan, cafe, serta produk makanan turunan dari kopi.

Print Friendly, PDF & Email
Fajar Subekti

Fajar Subekti

Pendamping Desa Wisata